PERPOLISIAN ERA TRADISIONAL
Model perpolisian tradisional berupaya
mengendalikan terjadinya kejahatan melalui penegakan hukum yang
reaktif dan peningkatan patroli serta penggunaan tehnologi tinggi.Fokus
dari model perpolisian "tradisional" adalah melakukan patroli
preventif, memberikan reaksi/respons yang cepat terhadap kejadian kejahatan dan
menindak lanjutinya dengan invenstigasi kejahatan.
Seperti tersirat dilapangan, model ini tidak
melibatkan hubungan dengan masyarakat Sayangnya, hal-hal ini menghasilkan jarak
antara polisi dan masyarakat. Konsep tradisional inimemunculkan citra bahwa
polisi tidak menganggap penting keikut sertaan masyarakat sebagai mitra utama
dalam perpolisian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya jarak
antara polisi dan masyarakat adalah :
Pergerakan ke arah profesional.
Mutasi yang teratur untuk menghapuskan
korupsi.
Kontrol terpusat.
Pengembangan tehnologi, seperti
komputer,radio, telephon, dan lain-lain.
Patroli yang dilakukan secara acak (random)
dan lain-lain.
Perpolisian tradisional lebih menekankan pada
angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by
arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan
kepolisian.
Dalam perpolisian tradisional, peran polisi
hanya terbatas pada respon atas kejadian yang diterimanya saja tidak diperluas
hingga upaya pengidentifikasian serta penyelesaian masalah di masyarakat dan
yang paling utama, dalam perpolisian tradisional polisi bersifat reaktif
terhadap kejadian. Akibatnya, muncullah berbagai peristiwa tragis di
tengah-tengah masyarakat seperti, polisi menembak warga sipil yang tidak
berdosa, penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, serta perlakuan-perlakuan
buruk lainnya yang mengarah pada pelanggaran HAM. Ini semua menyebabkan
kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum menjadi menurun.
PERPOLISIAN
ERA MODERN
Menurut Prof. DR. Farouk Muhammad, Pemolisian Era
Modern dibagi menjadi 3 model, yakni:
1.
Model Politik
Pada masa ini, tugas
kepolisian sangat desentralistik dan tergantung pada lingkungan di mana polisi
itu bekerja. Polisi mempunyai kewenangan diskresi yang sangat luas dalam
menegakan hukum dan sangat tergantung dengan kepentingan politik yang menyokong
pembentukan, pengangkatan dan tugas-tugas polisi itu sendiri. Tidak ada
standarisasi yang sama antar kota/daerah dalam penegakan hukum. Politisi lokal
sangat berperan dalam menentukan prioritas-prioritas kebijakan dari pimpinan kepolisian
setempat. Petugas kepolisian sangat dekat dengan masyarakat yang mempunyai
kepentingan tertentu akan diskresi kepolisian.
2.
Model
Legalistik/Profesional
Model legalistik telah
mendominasi serta memberikan dasar bagi keprofesionalan dalam menegakan hukum,
dan pendekatan legalistik/hukum dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian. Model
ini meyakini bahwa dalam pelaksanaan tugas kepolisian seharusnya menggunakan
standar hukum dan kebijakan organisasi sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan pada saat bertugas, dengan tidak boleh terpengaruh atas pertimbangan
politik ataupun individu. Memberantas kejahatan terutama kejahatan-kejahatan
besar adalah tugas utama bagi polisi, dan polisi akan dianggap sukses jika
banyak respon terhadap pengaduan-pengaduan, banyaknya penahanan yang dilakukan,
banyaknya perkara-perkara yang ditangani serta tinggi-rendahnya crime rate
yang membuktikan hasil pekerjaan oleh polisi.
3.
Model Service/Pelayanan
Dalam model pelayanan,
hal pokok pada pembangunan kepolisian adalah bagaimana mengevaluasi dan
melakukan penilaian terhadap diskresi kepolisian, terutama
penggunaan kekuatan. Hal ini ditujukan agar polisi dapat lebih luas lagi
melayani lapisan-lapisan masyarakat, mengurangi
konflik-konflik yang terjadi antara kaum minoritas dengan polisinya.
Komunikasi yang berjalan
top-down, hanya untuk kepentingan pelaksanaan program dari tugas-tugas
kepolisian itu sendiri (corporate-oriented), sehingga
interaksi tidak dapat berjalan dengan baik. Komunikasi
terjadi hanya satu arah dari satu sumber, yaitu polisi. Selain itu, kebanyakan
polisi juga tidak yakin, bahwa membina hubungan dengan masyarakat adalah tugas
mereka. Tugas yang mereka yakini adalah mempunyai spesialisasi kemampuan
tertentu dalam menangani kejahatan tertentu, sehingga mereka mempunyai keahlian
tertentu dan memiliki jenjang karir karena kemampuannya yang spesifik.
POLMAS SEBAGAI MODEL PERPOLISIAN KONTEMPORER
Menurut Prof. DR. Farouk Muhammad, dalam
materi memahami polmas, Paradigma Baru, Perpolisian Indonesia, menyampaikan
bahwa :
Pada dekade 70-an mulai diluncurkan
model perpolisian kontemporer: Community-Oriented
Policing (C.O.P.) dan / atau Community Policing (C.P.). Karena itu, filosofi yang
melatarbelakangi kelahiran C.P. adalah pemecahan
permasalahan dalam kehidupan tidak dapat lagi dilakukan secara terpusat, tetapi harus diturunkan ke
lapis yang serendah mungkin (desentralisasi) dan tidak dapat lagi ditangani
secara sepihak oleh komponen politik (negara), tetapi harus diatasi
bersama melalui pemberdayaan komponen masyarakat (empowering).
Polmas yang merupakan
adopsi dari model Community
Policing dibangun di atas dua unsur
utama, yaitu, “Kemitraan” (Patnership)
antara Polri dengan masyarakat dan “pemecahan permasalahan” (Problem
Solving). Kedua unsur tersebut mutlak harus ada dalam perumusan kebijakan dan strategi Polmas.
Kemitraan polisi dan masyarakat di dalam Polmas
memungkinkan deteksi dini permasalahan karena polisi dapat lebih cepat dan
akurat memperoleh informasi tentang Kamtibmas, sehingga memungkinkan tindakan
dan penanganan yang tanggap, cepat dan tepat dan baik oleh polisi bahkan dalam
keadaan mendesak masyarakat dapat mengambil tindakan yang pertama secara cepat
dan tepat sebelum polisi datang.
Kemitraan dalam konsep Polmas mengandung suatu
kerjasama yang komprehensif, mulai dari proses: (1) pengidentifikasian setiap permasalahan yang
dihadapi; (2) menyusun perencanaan tentang bagaimana menanggulangi
permasalahan-permasalahan; (3) meng-"organize"
atau mengatur penyelenggaraan secara bersama, di mana polisi dengan sumber daya
yang terbatas dipadukan dengan kesediaan masyarakat yang di-"empowered" untuk ikut
berpartisipasi dalam upaya bersama mengatasi kekurangan sumber daya kepolisian, sehingga terbentuk suatu
kerjasama yang terbuka dan bertanggung jawab; dan (4) kerjasama dalam upaya
mengendalikan, mengawasi dan bahkan mengevaluasi keseluruhan proses pemecahan
masalah, dan seterusnya.
Dalam konsep pemecahan
masalah, upaya yang diutamakan adalah upaya pencegahan. Pemecahan masalah
melalui upaya pencegahan bukan hanya sekadar mengadakan patroli atau
ronda kampung (preventif pasif),
seperti yang biasa dilakukan dalam penyelenggaraan Siskamswakarsa atau
Siskamling. Konsep tersebut masih diwarnai oleh suatu pemikiran bahwa
masyarakat adalah obyek pemolisian karena di sana ada penjahat atau calon
pelaku sehingga perlu dijaga. Ditinjau dari sudut teori aktivitas rutin (routine activities theory) yang melihat
kejahatan (jalanan atau street crimes) sebagai perpaduan dari
tiga unsure, yaitu: adanya calon pelaku yang
termotivasi (motivated offender);
adanya sasaran yang menarik (suitable
target) dan ketiadaan penjaga yang berkemampuan (uncapable guardian), ronda kampung hanya menekankan pada unsur
terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar