Minggu, 26 Februari 2017

Perpolisian Era Tradisional, Modern dan Kontemporer

PERPOLISIAN ERA TRADISIONAL
Model perpolisian tradisional berupaya mengendalikan terjadinya kejahatan melalui penegakan hukum yang reaktif dan peningkatan patroli serta penggunaan tehnologi tinggi.Fokus dari model perpolisian "tradisional" adalah melakukan patroli preventif, memberikan reaksi/respons yang cepat terhadap kejadian kejahatan dan menindak lanjutinya dengan invenstigasi kejahatan.
Seperti tersirat dilapangan, model ini tidak melibatkan hubungan dengan masyarakat Sayangnya, hal-hal ini menghasilkan jarak antara polisi dan masyarakat. Konsep tradisional inimemunculkan citra bahwa polisi tidak menganggap penting keikut sertaan masyarakat sebagai mitra utama dalam perpolisian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya jarak antara polisi dan masyarakat adalah :
  Pergerakan ke arah profesional.
  Mutasi yang teratur untuk menghapuskan korupsi.
  Kontrol terpusat.
  Pengembangan tehnologi, seperti komputer,radio, telephon, dan lain-lain.
  Patroli yang dilakukan secara acak (random) dan lain-lain.
Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian.
Dalam perpolisian tradisional, peran polisi hanya terbatas pada respon atas kejadian yang diterimanya saja tidak diperluas hingga upaya pengidentifikasian serta penyelesaian masalah di masyarakat dan yang paling utama, dalam perpolisian tradisional polisi bersifat reaktif terhadap kejadian. Akibatnya, muncullah berbagai peristiwa tragis di tengah-tengah masyarakat seperti, polisi menembak warga sipil yang tidak berdosa, penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, serta perlakuan-perlakuan buruk lainnya yang mengarah pada pelanggaran HAM. Ini semua menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum menjadi menurun.

PERPOLISIAN ERA MODERN
Menurut Prof. DR. Farouk Muhammad, Pemolisian Era Modern dibagi menjadi 3 model, yakni:
1.    Model Politik
Pada masa ini, tugas kepolisian sangat desentralistik dan tergantung pada lingkungan di mana polisi itu bekerja. Polisi mempunyai kewenangan diskresi yang sangat luas dalam menegakan hukum dan sangat tergantung dengan kepentingan politik yang menyokong pembentukan, pengangkatan dan tugas-tugas polisi itu sendiri. Tidak ada standarisasi yang sama antar kota/daerah dalam penegakan hukum. Politisi lokal sangat berperan dalam menentukan prioritas-prioritas kebijakan dari pimpinan kepolisian setempat. Petugas kepolisian sangat dekat dengan masyarakat yang mempunyai kepentingan tertentu akan diskresi kepolisian.
2.    Model Legalistik/Profesional
Model legalistik telah mendominasi serta memberikan dasar bagi keprofesionalan dalam menegakan hukum, dan pendekatan legalistik/hukum dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian. Model ini meyakini bahwa dalam pelaksanaan tugas kepolisian seharusnya menggunakan standar hukum dan kebijakan organisasi sebagai dasar dalam pengambilan keputusan pada saat bertugas, dengan tidak boleh terpengaruh atas pertimbangan politik ataupun individu. Memberantas kejahatan terutama kejahatan-kejahatan besar adalah tugas utama bagi polisi, dan polisi akan dianggap sukses jika banyak respon terhadap pengaduan-pengaduan, banyaknya penahanan yang dilakukan, banyaknya perkara-perkara yang ditangani serta tinggi-rendahnya crime rate yang membuktikan hasil pekerjaan oleh polisi.
3.    Model Service/Pelayanan
Dalam model pelayanan, hal pokok pada pembangunan kepolisian adalah bagaimana mengevaluasi dan melakukan penilaian terhadap diskresi kepolisian, terutama penggunaan kekuatan. Hal ini ditujukan agar polisi dapat lebih luas lagi melayani lapisan-lapisan masyarakat, mengurangi konflik-konflik yang terjadi antara kaum minoritas dengan polisinya.
Komunikasi yang berjalan top-down, hanya untuk kepentingan pelaksanaan program dari tugas-tugas kepolisian itu sendiri (corporate-oriented), sehingga interaksi tidak dapat berjalan dengan baik. Komunikasi terjadi hanya satu arah dari satu sumber, yaitu polisi. Selain itu, kebanyakan polisi juga tidak yakin, bahwa membina hubungan dengan masyarakat adalah tugas mereka. Tugas yang mereka yakini adalah mempunyai spesialisasi kemampuan tertentu dalam menangani kejahatan tertentu, sehingga mereka mempunyai keahlian tertentu dan memiliki jenjang karir karena kemampuannya yang spesifik.

POLMAS SEBAGAI MODEL PERPOLISIAN KONTEMPORER 
Menurut Prof. DR. Farouk Muhammad, dalam materi memahami polmas, Paradigma Baru, Perpolisian Indonesia, menyampaikan bahwa :
Pada dekade 70-an mulai diluncurkan model perpolisian kontemporer: Community-Oriented Policing (C.O.P.) dan / atau Community Policing (C.P.). Karena itu, filosofi yang melatarbelakangi kelahiran C.P. adalah pemecahan permasalahan dalam kehidupan tidak dapat lagi dilakukan secara terpusat, tetapi harus diturunkan ke lapis yang serendah mungkin (desentralisasi) dan tidak dapat lagi ditangani secara sepihak oleh komponen politik (negara), tetapi harus diatasi bersama melalui pemberdayaan komponen masyarakat (empowering).
Polmas yang merupakan adopsi dari model Community Policing  dibangun di atas dua unsur utama, yaitu, “Kemitraan” (Patnership)  antara Polri dengan masyarakat dan “pemecahan permasalahan” (Problem Solving). Kedua unsur tersebut mutlak harus ada dalam perumusan kebijakan dan strategi Polmas.
Kemitraan polisi dan masyarakat di dalam Polmas memungkinkan deteksi dini permasalahan karena polisi dapat lebih cepat dan akurat memperoleh informasi tentang Kamtibmas, sehingga memungkinkan tindakan dan penanganan yang tanggap, cepat dan tepat dan baik oleh polisi bahkan dalam keadaan mendesak masyarakat dapat mengambil tindakan yang pertama secara cepat dan tepat sebelum polisi datang.
Kemitraan dalam konsep Polmas mengandung suatu kerjasama yang komprehensif, mulai dari proses: (1) pengidentifikasian setiap permasalahan yang dihadapi; (2) menyusun perencanaan tentang bagaimana menanggulangi permasalahan-permasalahan; (3) meng-"organize" atau mengatur penyelenggaraan secara bersama, di mana polisi dengan sumber daya yang terbatas dipadukan dengan kesediaan masyarakat yang di-"empowered" untuk ikut berpartisipasi dalam upaya bersama mengatasi kekurangan sumber daya kepolisian, sehingga terbentuk suatu kerjasama yang terbuka dan bertanggung jawab; dan (4) kerjasama dalam upaya mengendalikan, mengawasi dan bahkan mengevaluasi keseluruhan proses pemecahan masalah, dan seterusnya.
Dalam konsep pemecahan masalah, upaya yang diutamakan adalah upaya pencegahan. Pemecahan masalah melalui upaya pencegahan bukan hanya sekadar mengadakan patroli atau ronda kampung (preventif pasif), seperti yang biasa dilakukan dalam penyelenggaraan Siskamswakarsa atau Siskamling. Konsep tersebut masih diwarnai oleh suatu pemikiran bahwa masyarakat adalah obyek pemolisian karena di sana ada penjahat atau calon pelaku sehingga perlu dijaga. Ditinjau dari sudut teori aktivitas rutin (routine activities theory) yang melihat kejahatan (jalanan  atau street crimes) sebagai perpaduan dari tiga unsure, yaitu: adanya calon pelaku yang termotivasi (motivated offender); adanya sasaran yang menarik (suitable target) dan ketiadaan penjaga yang berkemampuan (uncapable guardian), ronda kampung hanya menekankan pada unsur terakhir.