Minggu, 08 Oktober 2017

Analisa Kasus Kejahatan Koorporasi di Bidang Perpajakan (Studi Kasus PT Surabaya Agung Industri and Paper (PT SAIP))

ANALISA KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG PERPAJAKAN
(Studi Kasus PT Surabaya Agung Industri and Paper (PT SAIP))


A.     Latar Belakang
Korporasi sebagai suatu badan hukum hasil ciptaan hukum tentunya mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana halnya manusia. Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Ketika subjek hukum itu diberi hak maka iapun secara tidak langsung sudah dibebani oleh kewajiban atau sebaliknya, tidaklah mungkin adanya kewajiban bila subjek hukum tidak mempunyai haknya.
Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.Dalam arti luas kejahatn korporasi ini sering rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering terjadi.

B.    LANDASAN TEORI
1.     Kejahatan Korporasi
Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), yang sering juga disebut sebagai “white collar crime” (kejahatan kerah putih).
Simpsons menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi, yaitu:
  1. Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosial-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
  2. Baik korporasi sebagai (subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan, dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.
  3. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi tidak terlalu sering dilihat dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian pada umumnya sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini, yaitu:
  1. Kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional.
  2. Pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subyek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia.
  3. Tujuan dari pemindanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemindanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum.
  4. Pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindak lanjutinya secara hukum.
  5. Kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
 2.     Sebab-sebab Adanya Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup.
Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oleh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama. Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di masyarakat.
Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.

C.    PEMBAHASAN
1.     Sumber Kasus Kejahatan Korporasi PT Surabaya Agung Industri and Paper terkait Kasus Restitusi Pajak.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepolisian berencana akan mempidanakan korporasi yang melakukan suap dalam kasus restitusi pajak yang melibatkan dua pegawai pajak. "Kami masih melakukan penggkajian untuk mengajukan korporasinya dalam kejahatan korporasi, perusahaan sebagai pelaku tindak pidana,"kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyanto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2013).
Menurutnya dalam praktiknya perusahaan yang dikendalikan Berty memberikan suap kepada pegawai pajak menggunakan uang hasil kejahatan pajak. "Rupanya uang suap yang diberikan merupakan hasil restitusi pajak," ucapnya. Pihaknya pun masih terus mengembangkan kemungkinan ada perusahaan lain yang melakukan kejahatan pajak yang sama sehingga negara mengalami kerugian. "Kami sedang mempelajari dokumen-dokumen dari kantor pajak, sasarannya wajib pajak lain yang ditangani dua tersangka ini, yang mungkin memperoleh restitusi pajak dengan cara yang sama,"kata Arief. Sebelumnya diberitakan, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus korupsi dan pencucian uang di Direktorat Jenderal Pajak. Dua orang di antara adalah mantan pegawai pajak, yakni Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto. Mereka, diduga sebagai penerima suap Rp 1,6 miliar dari Komisaris PT Surabaya Agung Industri and Paper atas nama Berty. Akibat persekongkolan tersebut, negara dirugikan Rp 21 miliar yang merupakan jumlah restitusi yang dicairkan kepada PT Surabaya Agung Industri and Paper sejak tahun 2004 sampai 2007. Denok Tavi Periana, Totok Hendrianto, dan Berty diamankan Senin (21/10/2013) dan kini meringkuk di Tahanan Bareskrim Polri. Ketiganya disangkakan dengan pasal 5, 11, 12 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 dan 6 undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

2.     Analisa Kasus
PT. SAIPK merupakan perusahaan wajib pajak yang diduga menyuap Denok dan Totok (pegawai pajak) terkait kepentingan restitusi pajak. PT. SAIPK terindikasi melakukan tindak pidana karena telah melakukan suap dalam kasus restitusi pajak yang melibatkan dua pegawai pajak. Dalam hal ini komisaris telah mempergunakan perusahaan  PT. SAIPK untuk memberikan suap kepada dua orang pegawai pajak menggunakan hasil kejahatan pajak. Jadi yang dipakai sebagai uang suapnya adalah merupakan hasil restitusi pajak. Tersangka dalam kasus suap adalah Denok Tavi Periana, Totok Hendrianto dan Berty  yang telah melakukan  korupsi dan pencucian uang di Direktorat Jendral Pajak. Dua orang diantara mantan pegawai pajak, yakni Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto. Mereka, diduga sebagai penerima suap Rp 1,6 miliar dari komisaris PT. Surabaya Agung Industri and Paper atas nama Berty. Akibat persengkongkolan tersebut, Negara dirugikan Rp 21 miliar yang merupakan jumlah restitusi yang dicairkan kepada PT Surabaya Agung Industri and Paper sejak tahun 2004 sampai 2007.
Kasus tersebut diketahui pada 2010 lalu dari adanya dugaan pelanggaran administrasi restitusi pajak PT SAIPK dari tahun 2004 hingga 2007. Itjen Kemenkeu selanjutnya mendapatkan laporan dari PPATK terkait transaksi mencurigakan yang melibatkan Denok dan Totok. Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan menemukan adanya transaksi mencurigakan dari keduanya sebesar Rp 600 juta. Namun, seiring dengan pemeriksaan internal Kemenkeu, polisi menemukan transaksi mencurigakan senilai Rp 1,6 miliar. Transaksi tersebut merupakan pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak Surabaya Agung Industri Pulp & Kertas (SAIPK) senilai Rp 21 miliar, terhitung dari tahun 2004 hingga 2007.

Sudut Pandang Hukum Tipikor dan TPPU
Menurut saya ketiganya disangkakan dengan pasal 5, 11, 12 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 dan 6 Undang-undang tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Analisa Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenakan: Pasal 5 UU No. 31/1999 “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)”. Pasal 11 UU No. 31/1999 “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)”. Pasal 12 UU No. 31/1999 “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Sudut Pandang Hukum Korporasi
Menurut analisa saya adalah dalam praktik perusahaan yang dikendalikan oleh Berty memberikan suap kepada pegawai pajak menggunakan uang hasil kejahatan pajak yang merupakan hasil restitusi pajak merupakan sebuah tindakan Korporasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dikenakan :
Pasal 3 UU No. 8/2010 “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Pasal 6 UU No. 8/2010 :
1.  Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan atau Personil Pengendali Korporasi.
2.  Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang
a.    Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali Korporasi
b.    Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
c.    Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
d.    Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi

Melihat dampak negatif dari Kejahatan Korporasi ini maka penegakan hukumnya harus tegas serta pengenaan pidananya juga diupayakan harus mempunyai efek jera bagi pelaku Kejahatan Korporasi ini. Untuk itu bagaimana pertanggungjawaban Korporasi dengan adanya Kejahatan Korporasi yang dilakukan oleh pelaku manusia (natuurlijk persoon) yang ada di dalam lingkup Korporasi tersebut.
Tindak Pidana Perpajakan adalah dalam perspektif hukum pidana materiel membicarakan 3 (tiga) masalah pokok, yaitu rumusan tindak pidana perpajakan, pertanggungjawaban pidana perpajakan dan solusi pidana perpajakan. Kebijakan formulasi mengenai tindak pidana pajak dirumuskan dalam Pasal 38, 39, 39A, 40, 41, 41A, 41B, 41C, 43 dan Pasal 43A. dari rumusan pasal-pasal tersebut jenis tindak pidana perpajakan dalam bentuk pelanggaran (culpa) sebagai perbuatan yang tidak sengaja dan tindak pidana pajak dalam bentuk kejahatan (dolus) sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.Subjek tindak pidana pajak adalah manusia dan korporasi (badan hukum). Tanggung jawab pidana perpajakan yang dilakukan manusia berbasis pada culvabilitas (kesalahan), untuk korporasi sebagai pelaku tindak pidana perpajakan maka asas pertanggungjawaban perpajakannya berdasarkan teori identifikasi, vicarious liability, dan strict liability. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan, hanya menggunakan sanksi pidana penjara dan kurungan. Demi menjaga pendapatan negara, maka rumusan pidana denda terhadap pelaku tindak pidana perpajakan oleh wajib pajak menjadi sanksi utama (premum remedium), sedangkan pidana penjara dirumuskan sebagai sanksi bersifat ultimum remedium (senjata pamungkas).
  
D. PENUTUP
1.     Kesimpulan
Berdasarkan kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan PT. Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas (SAIPK) yang merupakan perusahaan wajib pajak melakukan tindakan kriminal berupa penyuapan uang hasil restitusi pajak perusahaan tersebut, kepada dua pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Penyuapan uang ini dilakukan, sebagai uang pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak PT. SAIPK senilai Rp 21 miliar yang terhitung mulai dari tahun 2004 hingga 2007. Dampak dari tindakan kejahatan ini adalah negara dirugikan sebesar Rp21 miliar dari jumlah restitusi yang dicairkan.

2.     Saran
Dalam menjalankan suatu usaha, perusahaan seharusnya tidak melakukan kejahatan korporasi karena akan merugikan banyak pihak bahkan negara juga akan dirugikan. Sebagai wajib pajak seharusnya perusahaan membayar pajak sesuai dengan aturan hukum pajak yang berlaku, jangan hanya mementingkan keuntungan sendiri saja tetapi juga harus memperhatikan etika-etika dalam berbisnis. Kemudian perusahaan-perusahaan yang melakukan kejahatan korporasi agar diberikan sanksi yang berat dan tegas agar tidak terulang kembali kejahatan-kejahatan korporasi lainnya di Indonesia.


Sumber:

http://fery-indrawanto.blogspot.co.id/2011/02/aspek-hukum-korporasi-dalam-kejahatan.html