ANALISA KEJAHATAN KORPORASI DI
BIDANG PERPAJAKAN
(Studi Kasus PT Surabaya
Agung Industri and Paper (PT SAIP))
A.
Latar Belakang
Korporasi sebagai
suatu badan hukum hasil ciptaan hukum tentunya mempunyai hak dan kewajiban
sebagaimana halnya manusia. Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi
kenyataan apabila kepada subjek hukum diberi hak dan dibebani kewajiban. Ketika subjek
hukum itu diberi hak maka iapun secara tidak langsung sudah dibebani oleh
kewajiban atau sebaliknya, tidaklah mungkin adanya kewajiban bila subjek hukum
tidak mempunyai haknya.
Kejahatan
diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai
kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana).
Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu
sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah
kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam
literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu
bentuk White Collar Crime.Dalam arti luas kejahatn korporasi ini sering
rancu dengan tindak pidana okupasi, sebab kombinasi antara keduanya sering
terjadi.
B.
LANDASAN TEORI
1.
Kejahatan Korporasi
Black’s Law
Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi dan oleh karena itu dapat dibebankan pada
suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti
penetapan harga, pembuangan limbah), yang sering juga disebut sebagai “white
collar crime” (kejahatan kerah putih).
Simpsons menyatakan
bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan
korporasi, yaitu:
- Tindakan ilegal dari korporasi dan
agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosial-ekonomi bawah
dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan
korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga
pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.
- Baik korporasi sebagai (subyek hukum
perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai
pelaku kejahatan, dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara
lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan
penuntutan.
- Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi
bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan
kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. tidak menutup
kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal)
dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi tidak terlalu sering dilihat dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di
media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian pada umumnya sering menindak
aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam
aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal
ini, yaitu:
- Kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh
masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga
menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan
atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh
kepolisian juga turut bersifat konvensional.
- Pandangan serta landasan hukum menyangkut
siapa yang diakui sebagai subyek hukum pidana dalam hukum pidana
Indonesia.
- Tujuan dari pemindanaan kejahatan korporasi
adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan
pemindanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk
menangkap dan menghukum.
- Pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut
kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang
terkesan enggan untuk menindak lanjutinya secara hukum.
- Kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh
masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi
proses penegakan hukum.
Kejahatan korporasi yang
lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah putih (white-collar crime), biasanya
dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang
bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa
identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti
pelanggaran undang-undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran
pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan
kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan
pencemaran lingkungan hidup.
Kejahatan korporasi
tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oleh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama.
Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan
di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana,
maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk
tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan
aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita
dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang
mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di masyarakat.
Korporasi, sebagai
subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakan pidana,
jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman
dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya.
Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya
pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam
penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif
untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi
dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian
nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi.
C. PEMBAHASAN
1. Sumber Kasus Kejahatan Korporasi PT
Surabaya Agung Industri and Paper terkait Kasus
Restitusi Pajak.
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA - Kepolisian berencana akan mempidanakan korporasi yang melakukan suap
dalam kasus restitusi pajak yang melibatkan dua pegawai pajak. "Kami masih melakukan penggkajian untuk
mengajukan korporasinya dalam kejahatan korporasi, perusahaan sebagai pelaku tindak
pidana,"kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigjen
Pol Arief Sulistyanto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat
(8/11/2013).
Menurutnya dalam praktiknya perusahaan yang
dikendalikan Berty memberikan suap kepada pegawai pajak menggunakan uang hasil
kejahatan pajak. "Rupanya uang suap yang diberikan merupakan hasil restitusi
pajak," ucapnya. Pihaknya pun masih terus mengembangkan kemungkinan ada perusahaan lain
yang melakukan kejahatan pajak yang sama sehingga negara mengalami kerugian. "Kami sedang mempelajari dokumen-dokumen
dari kantor pajak, sasarannya wajib pajak lain yang ditangani dua tersangka
ini, yang mungkin memperoleh restitusi pajak dengan cara yang sama,"kata
Arief. Sebelumnya
diberitakan, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri
menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus korupsi dan pencucian uang di
Direktorat Jenderal Pajak. Dua orang di antara adalah mantan pegawai pajak, yakni Denok Tavi
Periana dan Totok Hendrianto. Mereka, diduga sebagai penerima suap Rp 1,6
miliar dari Komisaris PT Surabaya Agung Industri and Paper atas nama Berty. Akibat persekongkolan tersebut, negara
dirugikan Rp 21 miliar yang merupakan jumlah restitusi yang dicairkan kepada PT
Surabaya Agung Industri and Paper sejak tahun 2004 sampai 2007. Denok Tavi Periana, Totok Hendrianto, dan
Berty diamankan Senin (21/10/2013) dan kini meringkuk di Tahanan Bareskrim
Polri. Ketiganya disangkakan dengan pasal 5, 11, 12 Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi dan pasal 3 dan 6 undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
2.
Analisa Kasus
PT. SAIPK merupakan
perusahaan wajib pajak yang diduga menyuap Denok dan Totok (pegawai pajak) terkait kepentingan restitusi pajak. PT. SAIPK terindikasi melakukan tindak pidana karena telah melakukan suap dalam kasus restitusi pajak yang melibatkan dua
pegawai pajak.
Dalam hal ini komisaris telah mempergunakan perusahaan PT. SAIPK untuk memberikan suap kepada dua
orang pegawai pajak menggunakan hasil kejahatan pajak. Jadi yang dipakai sebagai
uang suapnya adalah merupakan hasil restitusi pajak. Tersangka dalam kasus suap
adalah Denok Tavi Periana, Totok Hendrianto dan
Berty yang telah melakukan korupsi
dan pencucian uang di Direktorat Jendral Pajak. Dua orang diantara mantan
pegawai pajak, yakni Denok Tavi Periana dan Totok Hendrianto. Mereka, diduga
sebagai penerima suap Rp 1,6 miliar dari komisaris PT. Surabaya Agung Industri
and Paper atas nama Berty. Akibat persengkongkolan tersebut, Negara dirugikan
Rp 21 miliar yang merupakan jumlah restitusi yang dicairkan kepada PT Surabaya
Agung Industri and Paper sejak tahun 2004 sampai 2007.
Kasus tersebut diketahui pada 2010 lalu
dari adanya dugaan pelanggaran administrasi restitusi pajak PT SAIPK dari tahun
2004 hingga 2007. Itjen Kemenkeu selanjutnya mendapatkan laporan dari PPATK
terkait transaksi mencurigakan yang melibatkan Denok dan Totok. Inspektorat
Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan menemukan adanya transaksi mencurigakan
dari keduanya sebesar Rp 600 juta. Namun, seiring dengan pemeriksaan internal
Kemenkeu, polisi menemukan transaksi mencurigakan senilai Rp 1,6 miliar. Transaksi tersebut
merupakan pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak Surabaya Agung Industri
Pulp & Kertas (SAIPK) senilai Rp 21 miliar, terhitung dari tahun 2004
hingga 2007.
Sudut
Pandang Hukum Tipikor dan TPPU
Menurut saya ketiganya disangkakan dengan pasal 5, 11, 12
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 dan 6 Undang-undang tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU). Analisa Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomer 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenakan:
Pasal 5 UU No. 31/1999 “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana
dimaksud dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)”. Pasal 11 UU No.
31/1999 “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagimana dimaksud dalam
Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua
ratus lima puluh juta rupiah)”. Pasal 12 UU No. 31/1999 “Setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425 atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).”
Sudut Pandang Hukum
Korporasi
Menurut analisa saya adalah dalam praktik
perusahaan yang dikendalikan oleh Berty memberikan suap kepada pegawai pajak menggunakan uang hasil kejahatan
pajak
yang merupakan hasil restitusi pajak merupakan sebuah tindakan Korporasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
dikenakan :
Pasal 3 UU No. 8/2010
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian
Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”. Pasal 6 UU No. 8/2010 :
1. Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana
dijatuhkan terhadap Korporasi dan atau Personil Pengendali Korporasi.
2. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak
pidana Pencucian Uang
a.
Dilakukan
atau diperintahkan oleh personil pengendali Korporasi
b.
Dilakukan
dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi
c.
Dilakukan
sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah
d.
Dilakukan
dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi
Melihat dampak
negatif dari Kejahatan Korporasi ini maka penegakan hukumnya harus tegas serta
pengenaan pidananya juga diupayakan harus mempunyai efek jera bagi pelaku
Kejahatan Korporasi ini. Untuk itu bagaimana pertanggungjawaban Korporasi
dengan adanya Kejahatan Korporasi yang dilakukan oleh pelaku manusia
(natuurlijk persoon) yang ada di dalam lingkup Korporasi tersebut.
Tindak
Pidana Perpajakan adalah dalam perspektif hukum pidana materiel membicarakan 3
(tiga) masalah pokok, yaitu rumusan tindak pidana perpajakan,
pertanggungjawaban pidana perpajakan dan solusi pidana perpajakan. Kebijakan
formulasi mengenai tindak pidana pajak dirumuskan dalam Pasal 38, 39, 39A, 40,
41, 41A, 41B, 41C, 43 dan Pasal 43A. dari rumusan pasal-pasal tersebut jenis
tindak pidana perpajakan dalam bentuk pelanggaran (culpa) sebagai perbuatan
yang tidak sengaja dan tindak pidana pajak dalam bentuk kejahatan (dolus)
sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.Subjek tindak pidana pajak
adalah manusia dan korporasi (badan hukum). Tanggung jawab pidana perpajakan
yang dilakukan manusia berbasis pada culvabilitas (kesalahan), untuk korporasi
sebagai pelaku tindak pidana perpajakan maka asas pertanggungjawaban
perpajakannya berdasarkan teori identifikasi, vicarious liability, dan strict
liability. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan, hanya
menggunakan sanksi pidana penjara dan kurungan. Demi menjaga pendapatan negara,
maka rumusan pidana denda terhadap pelaku tindak pidana perpajakan oleh wajib
pajak menjadi sanksi utama (premum remedium), sedangkan pidana penjara
dirumuskan sebagai sanksi bersifat ultimum remedium (senjata pamungkas).
D. PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan kasus
diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan PT. Surabaya Agung Industri Pulp dan
Kertas (SAIPK) yang merupakan perusahaan wajib pajak melakukan tindakan
kriminal berupa penyuapan uang hasil restitusi pajak perusahaan tersebut,
kepada dua pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Penyuapan uang ini
dilakukan, sebagai uang pelicin pengurusan restitusi dari wajib pajak PT. SAIPK
senilai Rp 21 miliar yang terhitung mulai dari tahun 2004 hingga 2007. Dampak
dari tindakan kejahatan ini adalah negara dirugikan sebesar Rp21 miliar dari
jumlah restitusi yang dicairkan.
2.
Saran
Dalam menjalankan
suatu usaha, perusahaan seharusnya tidak melakukan kejahatan korporasi karena
akan merugikan banyak pihak bahkan negara juga akan dirugikan. Sebagai wajib
pajak seharusnya perusahaan membayar pajak sesuai dengan aturan hukum pajak yang
berlaku, jangan hanya mementingkan keuntungan sendiri saja tetapi juga harus
memperhatikan etika-etika dalam berbisnis. Kemudian perusahaan-perusahaan yang
melakukan kejahatan korporasi agar diberikan sanksi yang berat dan tegas agar
tidak terulang kembali kejahatan-kejahatan korporasi lainnya di Indonesia.
Sumber:
http://fery-indrawanto.blogspot.co.id/2011/02/aspek-hukum-korporasi-dalam-kejahatan.html